INFOUPS.COM – Politisi PDI Perjuangan yang juga Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum terkait perbedaan sikap hakim MK.
Ahmad Basarah menilai putusan MK itu problematik sehingga sudah selayaknya untuk tidak serta merta diberlakukan.
Menurut Ahmad Basarah putusan MK mengandung persoalan, yaitu kekeliruan dalam mengambil putusan yang berakibat pada keabsahan putusan.
“Putusan semacam ini jika langsung ditindaklanjuti oleh KPU akan melahirkan persoalan hukum dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari terkait legitimasi dan kepastian hukum putusan.
Baca Juga:
Mantan Suami Menikah dengan Nissa Sabyan, Begini Respons Ririe Farius yang Fokus ke Masa Depan
Untuk itu sudah seharusnya KPU mengedepankan asas kehati-hatian, kecermatan, dan kepastian dalam mempelajari keputusan ini,” pesan Ahmad Basarah.
Baca artikel lainnya di sini: Presiden Jokowi Tanggapi Keputusan MK Kabulkan Syarat Capres/Cawapres yang Pengalaman Kepala Daerah
“Apabila dicermati secara detail putusan tersebut, maka terdapat persoalan mendasar dalam putusan MK itu,” kata Ahmad Basarah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, 16 Oktober 2023
MK dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menyatakan “mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian”.
Baca Juga:
Penyanyi Yura Yunita Ungkap Perasaannya Saat Menyanyi di Kemenangan Timnas Indonesia vs Arab Saudi
Menurut Ahmad Basarah, persoalan tersebut berkaitan dengan amar putusan.
Bahwa amar putusan MK, yaitu “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Terhadap amar putusan tersebut, ada empat hakim konstitusi yang menyatakan “dissenting opinion” (pendapat berbeda) dengan menyatakan “menolak permohonan tersebut”, terdiri atas Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Selain itu, terdapat dua hakim konstitusi yang oleh putusan disebut memiliki ‘concurring opinion’ (alasan berbeda), yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Baca Juga:
Rilispers.com Layani Publikasi Press Release di Portal Pers Daerah dari Pulau Sumatera Hingga Papua
Tampil All Out dalam Film ‘Bila Esok Ibu Tiada’, Artis Cantik Amanda Manopo Berperan Sebagai Rania
Namun, apabila dicermati lagi pendapat dua hakim konstitusi tersebut, maka sejatinya kedua hakim konstitusi tersebut menyampaikan ‘dissenting opinion’ karena kedua hakim konstitusi tersebut memiliki pendapat berbeda soal amar putusan.
Menurut hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, amar putusan seharusnya:
“Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang”.
Kemudian, menurut hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh amar putusannya seharusnya: “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi”.
Artinya, kata Ahmad Basarah, sejatinya hanya tiga orang hakim konstitusi yang setuju dengan amar putusan itu (berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah).
“Sisanya enam hakim konstitusi lainnya memiliki pendapat berbeda berkaitan dengan amar putusan.”
“Oleh karena itu, sebenarnya putusan MK ini tidak mengabulkan petitum pemohon, melainkan menolak permohonan pemohon,” jelas Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, Jawa Timur, itu.
Atau, kata dia, kalau mau dipaksakan bahwa lima orang hakim mengabulkan permohonan, maka titik temu di antara lima orang hakim adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah gubernur.
“Dengan demikian putusan MK tidak dapat dimaknai bahwa berpengalaman sebagai kepala daerah adalah sebagai bupati/wali kota,” kata Ahmad Basarah.***